Kamis, 29 Januari 2009

Kota Terkorup dan Janji Walikota

SUDAH satu tahun, lima bulan dan 24 hari Drs. Daniel Adoe dan Drs. Daniel Hurek memimpin Kota Kupang. Dalam perjalanan setahun lima bulan lebih ini, sejak dilantik pada 1 Agustus 2007 lalu sampai saat ini, hampir belum ada gebrakan-gebrakan yang luar biasa. Memang, ada beberapa hal yang sudah dilakukan oleh duet Daniel Adoe dan Daniel Hurek. Di antaranya mutasi di jajaran birokrasi pemerintahan kota, studi banding ke beberapa kota di Pulau Jawa, penyelesaian masalah air minum dengan rencana membentuk PDAM Kota Kupang, gerakan bersih lingkungan -- meskipun masalah sampah belum terselesaikan -- dan penghijauan lingkungan melalui gerakan menanam. Gerakan menanam ini merupakan penjabaran dari gerakan nasional, yakni menanam 100 juta pohon yang dicanangkan tahun 2008 lalu.Ketika kampanye saat proses pilkada Kota Kupang tahun 2007 lalu, pasangan Drs. Daniel Adoe dan Drs. Daniel Hurek, selalu mengedepankan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh aparat birokrat di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Kupang dan para pengusaha yang dipercayakan untuk mengerjakan berbagai proyek pembangunan fisik di kota ini.Setelah terpilih menjadi Walikota Kupang periode 2007- 2012, Daniel Adoe, pada berbagai kesempatan acara dengan elemen masyarakat, termasuk jajaran pegawai negeri sipil (PNS) di Pemkot Kupang, kembali mengulangi pernyataannya bahwa ia bersama wakilnya, Drs. Daniel Hurek akan terus berupaya memberantas kasus-kasus korupsi di Kota Kupang pada masa pemerintahan sebelumnya.Berita kurang sedap media massa (lokal) edisi Kamis (22/1/2009), membuat Pemkot Kupang terkejut karena tidak diduga bahwa hasil survai Transparansi Internasional Indonesia (TII) tahun 2008 yang diumumkan di Balai Kartini- Jakarta, Rabu (21/1/209), Kota Kupang menempati urutan pertama sebagai kota paling korup di antara 50 kota di seluruh Indonesia yang disurvai. Sementara di satu sisi, warga masyarakat di kota ini masih banyak yang miskin.Dalam survai itu, seperti dijelaskan oleh Deputi Sekjen TII, Rezki Sri Wibowo, umumnya para pelaku bisnis di sini menganggap korupsi merupakan hal yang wajar dan lazim dilakukan. Sementara jajaran pemerintah daerah (kota) tidak serius untuk memberantas praktik-praktik korupsi yang terjadi di kota ini. Praktik-praktik korupsi di kota ini terjadi pada tahun-tahun (baca: pemerintahan) sebelumnya yang menyeret banyak pejabat dan para anggota DPRD Kota Kupang. Di antaranya kasus korupsi dana bencana alam tahun 2003 yang melibatkan empat perusahaan di Kota Kupang. Dana bencana alam yang bersumber dari dana dekonsentrasi yang dianggarkan melalui anggaran biaya tambahan senilai Rp 8 miliar dikelola oleh Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) Kota Kupang. Kerugian negara dalam kasus korupsi tersebut sebesar Rp 2,5 miliar. Selain itu, dana purna bakti DPRD Kota Kupang senilai Rp 3 miliar, dana kontingency yang melibatkan 29 anggota DPRD Kota Kupang senilai Rp 1,4 miliar, kasus korupsi dana beasiswa STPDN/IPDN senilai Rp 528 juta tahun 2004, korupsi dana pilkada Kota Kupang tahun 2007 senilai Rp 500 juta, dan kasus dana kir kendaraan di Dinas Perhubungan Kota Kupang. Namun, proses hukum kasus-kasus korupsi tersebut, baik yang tangani oleh aparat kejaksaan maupun kepolisian tidak ada yang tuntas. Artinya, tidak ada pejabat dan anggota DPRD Kota Kupang yang divonis penjara.Hasil survai TII ini, mengingatkan masyarakat Kota Kupang akan janji Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe, dan Wakil Walikota Kupang, Drs. Daniel Hurek, saat kampanye tahun 2007 lalu. Kala itu kedua figur ini selalu mengedepankan pemberantasan korupsi akan menjadi prioritas dalam pelaksanaan pemerintahan. Tetapi, apa yang dijanjikan belum ada tindakan nyata dalam menuntaskan proses hukum para aparat pemerintah dan pelaku usaha yang terlibat praktik-praktik korupsi.Untuk memberantas kasus-kasus korupsi di Kota Kupang, Daniel Adoe dan Daniel Hurek, tidak boleh berlindung di balik alasan bahwa praktik-praktik korupsi yang terjadi adalah warisan atau peninggalan dari pemerintahan sebelumnya. Tugas walikota dan wakilnya sekarang ini adalah memenuhi janji kampanye, terutama menyelesaikan berbagai kasus korupsi yang melibatkan aparat birokrat dan pihak-pihak swasta yang dipercayakan mengerjakan proyek-proyek fisik di Kota Kupang. Menyelesaikan kasus- kasus korupsi selain merupakan bagian dari tanggung jawab seorang pemimpin, juga merupakan alat ukur kualitas kepemimpinan seseorang. Masyarakat Kota Kupang menunggu hasil nyata pemberantasan korupsi di kota ini. Bukan hanya omong-omong saja. *

Mengungkap Pembunuhan Usnaat di TTU

ANSAOF Mese, Nekaf Mese! Kata-kata dalam bahasa Timor ini sudah menjadi simbol pemersatu bagi masyarakat di Timor khususnya di Timor Tengah Utara (TTU) sejak lama. Baik yang berasal dari Biboki, Insana maupun Miomafo, semua tahu arti kata-kata ini.Kata-kata ini kalau diterjemahkan secara lurus dalam bahasa Indonesia paling tidak artinya adalah, satu jantung (ansaof mese), satu hati (nekaf mese). Bisa juga diartikan, seia sekata.Hal ini juga berlaku dalam keluarga Talan. Diduga merasa nama baik keluarga besarnya tercoreng karena ulah Paulus Usnaat menghamili anaknya, Talan bersaudara sepakat menghabisi nyawa Usnaat yang ditahan di Polsek Nunpene, Kefamenanu. Demikian reka ulang (rekonstruksi) kasus ini yang digelar di Kefamenanu, belum lama ini.Kasus ini menghebohkan karena diduga melibatkan Ketua DPRD TTU, Agustinus Talan. Juga karena pembunuhannya terjadi di dalam sel, dimana pengamanan dan pengawasan yang dilakukan tentu ketat. Heboh, karena tersendat-sendat penanganannya, untuk kemudian diambilalih Polda NTT sampai digelar rekonstruksi.Oleh penyidik dari kepolisian kasus ini disebut sebagai pembunuhan berencana. Talan bersaudara, Alo, Baltazar dan Ema dalam sebuah pertemuan, merencaakan pembunuhan itu. Fakta yang diperankan dalam rekonstruksi, Agustinus Talan hadir dalam pertemuan itu dan memerintahkan para tersangka membunuh korban Paulus Usnaat.Rekonstruksi yang dipimpin penyidik dari Polda NTT, Aiptu Buang Sine itu berlangsung lancar. Semua keterangan tersangka dan saksi dilakonkan dengan baik. Agustinus Talan yang disebut-sebut ikut terlibat dalam rencana pembunuhan ini pun sudah diperiksa di Polda NTT, Rabu (21/1/2009).Tapi rekonstruksi itu masih menyisakan beberapa pertanyaan. Pertama, mengapa Agustinus Talan tidak dilibatkan langsung dalam rekonstruksi itu? Asas umum, persamaan di hadapan hukum harus diterapkan. Tidak boleh ada diskriminasi dalam penegakan hukum. Kedua, mengapa tak ada satu orang anggota polisi pun yang melihat para tersangka berjalan masuk ke dalam Mapolsek Nunpene dan "dengan leluasa" membunuh tahanan Paulus Usnaat. Mengapa pula kunci ruang sel tempat Usnaat ditahan tidak dikunci pada malam kejadian?Sangat patut menduga dan mengusut kaitan antara personel polisi di Polsek Nunpene dengan para tersangka serta aktor intelektual kasus pembunuhan ini. Juga sangat pantas mempersalahkan polisi dalam kasus ini. Sebab, keselamatan tahanan Usnaat sepenuhnya dalam pengawasan dan tanggung jawab kepolisian. Sel polisi, selain dipakai untuk menahan tersangka guna mempermudah/memperlancar proses hukum, juga untuk menjaga agar korban kejahatan tidak main hakim sendiri terhadap tersangka. Dengan kata lain, tahanan aman di tangan polisi. Namun fakta membuktikan bahwa tahanan Paulus Usnaat justeru tewas di dalam sel. Bisa dikatakan bahwa Usnaat tewas "di tangan polisi". Maka polisi harus bertanggung jawab.Di sini Baltazar, Alo dan Ema harus berani bersuara di tingkat penyidikan, penuntutan maupun di persidangan nanti. Siapa aktor intelektual kasus ini harus diungkap. Juga apakah ada "kerja sama" dengan petugas kepolisian dalam kasus ini, juga harus dibeberkan. Kita memang harus mengusung prinsip asas pra duga tak bersalah dalam hal ini. Namun dari rangkaian rekonstruksi, mencuat sejumlah kejanggalan mengenai keberadaan dan posisi polisi (setidaknya petugas piket) dalam kasus pembunuhan ini.Kasus ini sudah menjadi pembicaraan umum. Berbagai aksi, reaksi dan opini masyarakat bermunculan. Ada yang menyebutnya sebagai kasus kriminal murni, namun ada yang menyebutnya bermuatan politis. Kita percaya polisi mempunyai cara sendiri untuk mengungkap semuanya. Profesionalisme polisi benar-benar diuji dalam penanganan kasus ini.Penyelesaian akhir kasus ini tetap dinantikan. Apapun ending dari proses hukum yang sedang berjalan ini, ada kata-kata bijak orangtua begini, "sepandai-pandainya seseorang berusaha menutupi aib, namun darah manusia yang ditumpahkannya akan terus mencari keadilan". *

Penanganan Korupsi di Lembata

FLORATA Corruption Watch (FCW) rupanya sudah tak sabar terhadap upaya penanganan korupsi yang dilakukan aparat kepolisian dan kejaksaan di Kabupaten Lembata. Piter Bala Wukak dkk pun mendesak kejaksaan, kepolisian, bahkan juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut tuntas kasus-kasus korupsi yang terjadi di Kabupaten Lembata.Beberapa temuan Panitia Khusus (Pansus) DPRD Lembata, menurut mereka, seharusnya dijadikan barang bukti bagi aparat untuk memulai penyidikan. Ada dugaan penyimpangan proyek pabrik es, pembangunan jobber (penampung bahan bakar minyak), penyelewengan dana alokasi khusus (DAK) bidang pendidikan dan lainnya. FWC atau siapa pun yang peduli terhadap pembangunan di Lembata pantas mempertanyakan penanganan kasus-kasus korupsi ini. Pasalnya, bukan satu temuan saja yang mengemuka tapi sudah cukup banyak. Namun penanganannya belum begitu menyentuh. Ada temuan, kemudian diusut. Ada yang bahkan ditahan. Namun beberapa saat kemudian menghilang tanpa ada keputusan tetap yang mengikat.Beberapa kasus korupsi yang mencuat, sebut misalnya kasus lantainisasi, tender- tender proyek yang tidak prosedural, pengadaan alat berat dan penyelewengan keuangan administratif lainnya sudah lama mencuat. Bahkan, saat ini mantan ketua dan Wakil Ketua DPRD Lembata, Drs. Philipus Riberu dan Haji Hidayatullah Sarabiti, ditahan pihak Kejaksanaan Negeri Lewoleba terkait masalah dana kesehatan asuransi kesehatan. Sebagai kabupaten pertama yang memekarkan diri di NTT, proses pembangunan di Kabupaten Lembata memang dimulai dengan apa adanya. Kurangnya aparatur, fasilitas pendukung atau sarana dan prasarana membuat proses pemerintahan berjalan tidak semulus kabupaten induknya, Flores Timur. Namun, pembenahan yang terus-menerus dilakukan membuat potensi-potensi pembangunan di Lembata berhasil dieksploitasi. Namun semua itu berjalan tidak semulus yang diperkirakan.Salah satu penyebabnya adalah tumbuh suburnya korupsi, kolusi dan nepotisme di sana. Ketika tender proyek dilaksanakan, sudah bisa ditebak siapa pemenangnya. Anak pejabat, istri pejabat hingga istri anggota DPRD ikut bermain di sana. Pelaksanaan eksplorasi panas bumi di Atadei, penambangan emas di Leragere dan lainnya menuai protes dari berbagai elemen masyarakat. Pemerintah dengan kewenangan yang dimiliki, tanpa sosialisasi kepada masyarakat langsung menyetujui proposal yang diajukan investor. Akibatnya, proyek-proyek ini menjadi terbengkalai.Keadaan ini makin diperparah dengan dugaan-dugaan penyelewengan keuangan yang dilakukan aparatur pemerintah. Terakhir, DPRD Lembata dengan kewenangannya membentuk pansus untuk mengusut dugaan penyelewengan keuangan dan administratif. Sudah tumpulkah aparat kejaksaan dan kepolisian di Lembata sehingga tidak pernah menemukan adanya kerugian? Ataukah mereka sudah diamankan para penguasa, sehingga meski tahu namun mendiamkannya? Ataukah mereka sudah menjadikan Lembata sebagai 'ATM' agar bisa membawa pulang satu dua sen ke kampung halamannya?Masyarakat Lembata sudah tahu praktek-praktek KKN di daerahnya sehingga menunggu proses penanganan. Aparat penyidik sudah jadi perhatian. Keberanian menahan salah satu Kasubdin di Dinas Kimpraswil, Leo Buyanaya, terkait kasus lantainisasi dan penahanan mantan Ketua dan Wakil Ketua DPRD Lembata, Drs. Philipus Riberu dan Haji Hidayatullah Sarabiti, adalah bukti komitmen kejaksaan untuk membersihkan praktek-praktek KKN. Namun, penyelesaian dari penanganan kasus ini masih terus ditunggu.Juga keberanian DPRD untuk mengungkapkan adanya praktek KKN di Lembata harus didukung. Namun satu permintaan kepada mereka adalah agar jangan berhenti menggonggong sebelum kasus-kasus tersebut tuntas. Pasalnya, sudah menjadi rahasia umum --dan ini terjadi hampir di semua daerah di NTT-- bahwa koar-koar para anggota DPRD terhadap sebuah masalah biasanya karena ada kepentingan. Setelah kepentingan tercapai, mereka langsung lupa. Hal ini juga harus berlaku bagi FCW atau organisasi-organisasi massa lainnya yang menginginkan proses pembangunan di Lembata berjalan bersih dari KKN. Dukung dan mengawal aparat penyidik bukan dengan mengecam, tapi ikut mengungkapkan dan membeberkan fakta-fakta. Kalau demikian, mungkinkah kasus-kasus korupsi di Lembata bisa diusut tuntas? *

Nyanyi Sunyi Sebuah Batu...

DI Desa Pakemitan, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, ada satu batu besar di tengah sawah yang bentuknya menarik perhatian saya. Batu yang berbentuk unik ini sudah saya kenal sejak saya masih kanak-kanak, waktu itu ayah saya biasa mengajak nuar awi (menebang bambu) di kebun kakek di Cibangkong.
Nah, sebelum melewati Cibangkong itu batu berbentuk unik itu sudah ada di sana dan bahkan dianggap sebagai tempat angker, tempat bersemayamnya makhluk gaib. Seingat saya, zamannya nalo (national lotre) alias judi massal masih diperbolehkan, ada saja bekas sesajian di tempat itu.Sebagai jurnalis, saya tergelitik dengan bentuk batu sebesar gajah dewasa di tengah sawah itu. Saya tidak tahu apakah bentuk batu itu menyimpan sejarah masa lalu yang "heboh dan mencengangkan", apakah dia menyimpan sesembahan manusia masa lalu ketika agama yang sekarang kita kenal belum ada dan sampai ke desa Pakemitan itu, apakah itu prasasti atau penanda tapal batas wilayah kerajaan, atau semata batu belaka?
Mengapa saya tertarik menulis dan berbagi mengenai batu yang bisa saja kebetulan bentuknya seperti foto yang tersebar di tubuh tulisan ini? Karena saya ingat satu nama, Erich von Daniken! Karena teringat satu nama itulah maka tulisan ini ada.Perkenalan saya dengan orang yang dijuluki "Profesor Sinting" itu jauh ke masa silam, kurang lebih 30 tahun lalu, saat Harian Suara Karya menurunkan tulisan bersambung mengenai kiprah Daniken sebagai peneliti dan penjelajah aneh dengan teori-teori nyeleneh-nya.
Waktu itu saya masih duduk di kelas enam sekolah dasar dan saya membaca tulisan bersambung itu dengan penuh minat. Mengapa saat itu orangtua hanya berlangganan Suara Karya? Maaf kalau saya menyinggung satu pihak sebab zaman itu zaman Orba sehingga koran yang berafiliasi ke Golkar itu pun harus/wajib dilanggan para guru! Kalau guru tidak berlangganan koran itu, tahu sendiri akibatnya. Tapi itu dulu! Sekarang zaman sudah berganti...Nah, yang saya ingat sampai sekarang adalah teori Daniken yang mengatakan: bahwa pada masa lalu planet Bumi kita ini dihuni oleh makhluk-makhluk pintar dari luar angkasa (alien) sehingga peninggalannya bisa dilihat di Bumi ini. Peninggalan alien itu antara lain (dan ini yang membuat marah sebagian orang): piramid dan sphinx di Mesir, coretan gambar/sketsa raksasa di lembah Nazca di Peru, peta bumi dan alat navigasi Piri Reis (pelaut?) yang meski sudah berusia 3.000-an tahun, tetapi peta dunia yang ada saat itu sama persis dengan peta bumi yang sekarang ada! Daniken beranggapan, peta itu hanya bisa dibuat seakurat mungkin hanya jika menggunakan pencitraan satelit atau pesawat ulang alik!Daniken memprovokasi dengan sebuah pertanyaan: mampukah peradaban manusia ribuan tahun lalu membuat satelit atau pesawat ruang angkasa di saat peradaban manusia modern baru bisa mengorbit bumi akhir tahun 1950-an?
Dulu saya membacanya seperti itu, sekarang saya baru mengernyitkan dahi sambil mengurut-ngurut kepala, benar juga ya? Yang saya tahu, Daniken rajin menelusuri lukisan, kerajinan, dan ukiran-ukiran kuno ribuan tahun lalu. Anehnya, dia fokus pada bentuk-bentuk manusia aneh (alien) dan benda-benda terbang bersayap yang diduga pesawat ruang angkasa milik makhluk pintar yang disebut alien itu.
Siapa yang tidak tersengat kalau potongan piramid di Mesir itu dikerjakan oleh laser tajam dan bukan dipahat manusia Bumi? Daniken berteori: hanya makluk pintar dari angkasa luasr yang bisa memotong-motong batu itu seperti memotong kue lapis menggunakan pisau laser canggih! Terang saja, teori Daniken ini dianggap melecehkan peradaban manusia!Jadi.... kembali ke batu di Cibangkong itu! Apakah penggalan batu yang terbagi dua secara simetris itu dikerjakan oleh laser canggih dari luar angkasa? Apakah manusia purba mampu membelah batu itu dengan alat pahat "modern" pada masanya sehingga menjadi rata satu sama lain seperti orang membelah kue lapis?
Untuk yang satu ini, mari kita diskusikan bersama dengan melihat foto-foto yang saya jepret dan di-sharing di sini. Syukur kalau ada arkeolog atau orang-orang dari Dinas Purbakala yang berminat mempelajarinya, siapa tahu batu itu bercerita banyak mengenai peradaban masa silam. Siapa tahu di balik batu itu ada tulisan yang bisa dibaca dan dimaknakan.
Yang jelas, keingintahuan manusia akan sesuatu yang sifatnya "belum terpecahkan" harusnya menjadi milik kita semua. Bagi mereka yang berminat menelitinya, saya bersedia mengantar Anda (jika punya waktu) sampai ke tempat batu itu berdiri dengan keunikan dan keanehannya, setidak-tidaknya bagi saya.* (Pepih Nugraha)

Tahun Kerbau, Tahun Kerja Keras

JAKARTA, SENIN — Tahun Baru Imlek 2560 ditandai dengan bergantinya tahun, dari tahun Tikus ke tahun Kerbau. Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa Benny G Setiono mengatakan, tahun Kerbau membawa makna kerja keras.
Pemaknaan tahun Kerbau, menurutnya, sejalan dengan kondisi perekonomian yang tengah berjuang di tengah empasan krisis ekonomi global. Oleh karena itu, perayaan Imlek tahun ini diharapkan Benny bisa dimaknai pula pentingnya kerja keras dari masyarakat Tionghoa khususnya dan Indonesia pada umumnya.
"Berdasarkan mitos, tahun Kerbau itu berarti tahun kerja keras. Kerbau kan hewan pekerja keras, misalnya membajak sawah. Dan saat ini, bangsa kita lagi prihatin menghadapi berbagai masalah, terutama di bidang ekonomi. Oleh karena itu, Imlek tahun ini penekanannya juga bisa pada aspek sosial agar masyarakat Tionghoa banyak memberikan bantuan pada sesama, di tengah kegembiraan menyambut tahun baru," papar Benny saat dihubungi Kompas.com, Senin (26/1).
Selain itu, dari sisi politik, tahun 2009 akan diwarnai dengan dua momen penting, yaitu pemilu legislatif dan pemilu presiden. Pergantian tahun China ini diharapkan Benny juga bisa diikuti dengan aman dan memberikan harapan baru bagi bangsa.
"Dua momen ini rawan konflik. Orang Tionghoa juga harus bisa memanfaatkan hak politiknya dengan baik dan sesuai dengan hati nurani. Masyarakat Tionghoa tidak bisa lagi merasa dianaktirikan karena seluruh peraturan yang mendiskriminasi etnis Tionghoa sudah dihapuskan di negara kita," kata Benny. (Inggried Dwi Wedhaswary)

Perlu Presiden Baru seperti "Kerbau"

BOGOR, SENIN - Memasuki Tahun Kerbau sekaligus tahun penyelenggaraan Pemilu yang jatuh pada tahun 2009 ini, warga etnis Tionghoa mengharapkan presiden seperti "kerbau". Namun, jangan salah sangka dulu. Kerbau yang dimaksud di sini adalah sosok yang dipercaya sebagai lambang kerja keras. Mery, warga etnis Tionghoa yang hari ini merayakan Tahun Baru Imlek 2560 dengan bersembahyang di Vihara Gayatri Cilangkap Bogor, mengharapkan tahun ini akan hadir seorang Presiden yang rela bekerja keras untuk kemakmuran orang banyak seperti kerbau. "Iya, presiden yang terpilih di tahun ini harus mau kerja keras seperti kerbau," ujar Mery usai bersembahyang. Mery yang datang bersama suami dan ketiga anaknya dari kawasan Condet ini juga mengaku selama ini aspirasi warga etnis Tionghoa dalam sejumlah urusan birokrasi masih sulit. "Ya belum terlalu didengar ya, tapi kita jalani saja deh," ujar Mery. Sementara itu, Yuli, warga Jakarta Barat yang juga datang bersembahyang ke vihara ini justru tidak terlalu peduli dengan pemimpin baru yang akan terpilih nantinya. "Kalau prediksi politik kita mah nggak penting-penting amat, bagi kita orang Tionghoa yang paling penting adalah keselamatan dan usaha, kerja keras kita masing-masing," ujar Yuli.