Rabu, 04 Februari 2009

Dalam Dua Dunia, Tetapi Tidak Memiliki



Oleh Silvinus Lado Ruron


Dua dunia. Dunia Flores dan dunia Australia, tepatnya dunia Larantuka dan Melbourne. Beralih dari satu dunia ke dunia lain sungguh gampang-gampang susah.
Melbourne sungguh indah. Satu atau dua tahun lalu ia digelar sebagai 'The most liveable city in the world'. Orang menikmati indahnya kota ini pada malam hari dengan keluar makan di restoran. Setelah berada beberapa minggu di Melbourne, saya diajak teman untuk makan di restoran. Sewaktu diajak, bukan main senangnya saya. Saya ditraktir teman.
Banyak jenis restoran etnis di kota metropolitan ini. Kami pergi ke sebuah restoran Vietnam. Makanan Vietnam sungguh lezat dan itu pertama kali saya mencicipinya. Di akhir makan malam, kami diberi nota bon. Setelah melihat jumlah uang yang harus dibayar, teman saya berkata, 'Let's split the bill' (Mari kita bagi bon). Saya terkejut. "Oh, bayar masing-masing," saya bergumam dalam hati. Sejak itu, saya belajar bahwa diajak keluar tidak berarti ditraktir - bayar sendiri-sendiri.
Selain aneka makanan etnis, penduduk Melbourne pun diperkenalkan dengan cukup banyak bahasa asing. Pemerintah, baik pada tingkat Federal maupun pada tingkat Negara Bagian, mewajibkan sekolah-sekolah untuk mengajarkan sekurang-kurangnya satu bahasa asing. Bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa asing yang diajarkan di sekolah-sekolah.
Banyaknya jenis makanan dan aneka bahasa merupakan dua indikator kemajemukan masyarakat Melbourne.

Mengabdi di Negeri Kanguru
Sekolah tempat kerja dan pengabdian saya. Setelah menyelesaikan pendidikan, saya menjadi staf pengajar tetap Bahasa Indonesia di sekolah 'Catholic Ladies' College', setingkat SMU di Indonesia. Sudah enam tahun lamanya saya mengabdi di sekolah ini.
Mengajar, baik di tempat ini maupun di tempat lain mana pun, punya kesusahan dan kesenangan tersendiri. Enak kalau berhadapan dengan anak-anak yang pandai dan ingin belajar. Sekali dijelaskan mereka mengerti. Tetapi sering kali kesabaran saya diuji sewaktu berhadapan dengan anak-anak yang membutuhkan lebih banyak waktu untuk mengerti satu aspek bahasa yang dipaparkan. Kadang-kadang mereka frustrasi, demikian juga saya. Meskipun demikian, saya berusaha untuk tidak menunjukkan kefrustrasian itu. Sabar, memuji dan memacu semangat itulah yang dinyatakan. Hasil dapat diperoleh melalui pendekatan demikian.
Pada suatu hari, seorang siswi bertanya, "Pak Sil, tolong ceritakan sedikit tentang Flores." Ada beberapa hal yang saya ceritakan. Tetapi yang satu ini, sebelum menceritakannya, saya mengawasi mereka. "Jangan ceritakan ini kepada orangtua kamu. Kamu harus berjanji untuk tidak menceritakannya." Mereka menjawab, "Ya". Sekali lagi saya bertanya, "Kamu berjanji?" Saya memandang semua mereka. Setelah berdiam beberapa detik mereka menjawab, "Ya, Pak Sil." "Begini..." Saya berhenti. Suasana mulai menegang. Beberapa di antara mereka berteriak, "Ceritakan saja, Pak Sil... "Baiklah. Di Flores, kami.... "Kamu apa, kamu apa, Pak Sil?" "Di Flores, kami makan daging anjing." Mendegar itu, ruang kelas serentak dipenuhi dengan suara-suara tidak setuju. Ada di antara mereka berkata, "Jangan pernah mendekati anjing saya, Pak Sil!" Ada yang bertanya, "Rasanya seperti apa, Pak Sil?"
Di kelas, ketika siswi-siswi menciptakan album keluarga sebagai tugas Bahasa Indonesia mereka, beberapa di antara mereka bertanya, "Boleh saya masukkan anjing-anjing saya sebagai bagian dari anggota keluarga?" Saya biasanya bertanya balik, "Menurut kamu, bagaimana?" Mereka menjawab, "Ya." "Baiklah", saya mengakhiri pembicaraan kami.
Tiap semester ada wawancara dengan orangtua/wali murid. Wawancara biasanya terjadi pada akhir triwulan pertama dan ketiga. Orangtua/wali murid harus membuat janji dengan pengajar. Banyak yang datang. Sewaktu mereka menghadiri wawancara, mereka datang dengan senyum dan pujian dan/atau dengan keluhan dan ketidakpuasan mereka.
Berikut ini beberapa ungkapan orangtua/wali murid dalam wawancara kami. "Chloe senang sekali di kelas Bapak. Tetapi dia masih bingung dengan penggunaan "Adalah" dan "Ada." "
"Stephanie bersemangat berada di kelas Bapak. Dia selalu cerita tentang apa yang dia pelajari. Stephanie suka permainan-permainan yang diadakan di kelas. Tetapi penggunaan "Tidak" dan "Bukan" cukup membingungkannya." "Nicole mengalami kesulitan dalam menghafal kosa kata baru. Apakah Bapak mempunyai saran atau strategi untuk ini? Apakah nanti ada perjalanan ke Indonesia?"
"Bagaimana Cassidy di kelas semester ini? Dia tidak nakal, 'kan?" Demikian beberapa kutipan dari wawancara.
Pada pertengahan bulan September tahun ini, sesudah wawancara dengan orangtua/ wali murid ada rekoleksi untuk staf. Salah satu bagian dalam rekoleksi itu adalah "Benda Penting" dalam hidup. Setiap pengajar membawa "Benda Penting" ke rekoleksi. Saya membawa passpor saya.
Passpor adalah salah satu bentuk indentitas tertulis saya. Dalam passport ada visa yang menyatakan "Tinggal di Australia tanpa batas waktu."
Saya orang Flores tinggal di Australia. Kefloresan saya jelas. Tampang saya, logat saya dan kebudayaan saya sungguh Flores. Akan tetapi rajutan benang kefloresan yang ada dalam diri saya sudah diwarnai dengan benang-benang Australia. Benang-benang Australia perlahan-lahan turut menenun keberadaan saya sejak Januari 1995.
Saya berada dalam dua dunia, Australia dan Flores baik secara kultur, mental maupun psikologis. Dua dunia ini pun berada dalam saya. Tetapi kadang-kadang saya merasa tidak memiliki keduanya.
Ketika saya pulang berlibur, terkadang saya merasa asing di tengah keluarga dan sahabat kenalan. Ada keponakan baru atau anak-anak dari keponakan yang tidak mengenal siapa saya. Saya merasa sedikit kaku berbahasa "Nagi" dan "Lamaholot" pada saat-saat awal. Sayang bahwa ini harus terjadi. Saya tidak bermaksud menyakiti hati keluarga atau komunitas asal saya. Tetapi inilah yang saya alami. Sementara itu selagi di Melbourne, saya membawa kefloresan saya. Tiga belas tahun lebih saya berada di sini. Tiga belas tahun lebih berada dalam peralihan, pergi dan pulang antara Melbourne dan Flores dalam arti fisik, kultur, mental dan psikologis.
Di sekolah, rekan-rekan kerja sering berkata, "Sil, kamu beradaptasi baik sekali dengan kebudayaan dan kebiasaan Australia." Mereka menerima saya sebagai bagian dari komunitas. Tetapi saya kadang cenderung melihat diri sebagai seorang pendatang. Ketika seorang pendatang diterima sebagai anggota komunitas, mungkin itu suatu tanda baik. Suatu keberhasilan dalam beradaptasi, berdialog dan berinkulturasi. Mungkin.*

213.079 Peserta UN Tahun 2009 di NTT

KUPANG, PK -- Sebanyak 213.079 siswa dari sekolah dasar hingga sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) di Propinsi Nusa Tenggara Timur telah terdaftar sebagai peserta Ujian Nasional (UN) dan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) di Nusa Tenggara Timur (NTT). Para siswa ini akan mengikuti ujian mulai tanggal 20 April 2009. Jumlah ini meningkat 37.404 peserta atau 17,55 persen dari UN tahun 2007/2008, sebanyak 175.675 orang peserta.Demikian disampaikan Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (PPO) Propinsi NTT, Ir. Thobias Ully, M.Si, kepada Pos Kupang di ruang kerjanya, Senin (2/2/2009). Menurut Ully, siswa SD peserta USBN tahun 2009 sebanyak 97.800 orang, jumlah ini mengalami kenaikan yang signifikan dibandingkan tahun 2008 yakni 78.676 orang atau mengalami kenaikan 19,55 persen atau bertambah 19.124 orang.Peserta UN tingkat sekolah menengah pertama (SMP) tahun 2009 sebanyak 68.268 orang. Jumlah ini juga mengalami kenaikan sebesar 14,15 dari peserta UN SMP tahun 2008 atau mengalami pertambahan 9.662 orang dari total peserta UN SMP tahun 2008 sebanyak 58.606 orang. Dijelaskan, juga peserta UN sekolah menengah atas (SMA) tahun 2009 sebanyak 38.069 orang. Jumlah tersebut juga mengalami peningkatan 22,02 persen dibanding peserta UN SMA tahun 2008 yakni 29.688 atau bertambah 8.381 orang. Dan, peserta UN sekolah menengah kejuruan (SMK) tahun 2009 sebanyak 8.942 orang atau meningkat 2,65 persen dari jumlah UN SMK tahun 2008 sebanyak 8.705 orang atau bertambah 237 orang.Berdasarkan pengalaman UN 2008 lalu, pihaknya dalam menghadapi UN tahun 2009 ini telah melakukan berbagai upaya termasuk sosialisasi dengan melibatkan Gubernur NTT dan para pemuka agama di NTT. Dan, tahun ini pihaknya tetap berharap semua peserta UN bisa lulus. "Kita harap NTT bisa 100 persen, tapi kalau bisa 70 persen saja sudah baik. Saya pikir semua siswai punya motivasi untuk lulus," jelasnya.Ully menjelaskan, Dinas PPO Propinsi NTT akan melayani dan memfasilitasi para peserta dengan baik dalam pelaksanaan UN, terutama saat mendistribusikan soal-soal ujian. Hal ini dilakukan agar soal-soal yang didistribusikan bisa tiba dengan aman di sekolah-sekolah penyelenggara UN dan tidak bocor.Dijelaskannya, pengalaman penyelenggaraan UN di NTT pada tahun-tahun sebelumnya yang terjamin aman dan baik akan terus dipertahankan dan pihaknya akan terus menggunakan pola, metode dan mekanisme UN yang sudah ada. Ia menjelaskan, untuk menjaga keamanan dan kerahasiaan, pihaknya akan bekerja sama dengan berbagai komponen yang ada di masyarakat, terutama pihak Polda NTT dan panitia penyelenggara di tingkat kabupaten/kota. "Saya jamin, pelaksanaan UN 2009 ini akan berjalan dengan lancar," jelasnya.Menurutnya, tahun 2009 masih menggunakan Tim Pemantau Independen (TPI) dari berbagai perguruan tinggi sebagai pengawas, namun hanya untuk tingkat SD dan SMP. Sedangkan untuk tingkat SMA, lanjutnya, penyelenggaraannya bekerja sama dengan Univesritas Nusa Cendana (Undana) Kupang. "Besok (Selasa, 3/2/2009) akan dilakukan pendandatanganan memorandum of understanding (MoU) dengan perguruan tinggi untuk penyelenggaraan UN SMA," katanya.Soal UN SMA yang diselenggarakan oleh Undana, jelas Ully, sudah ada Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, dan Rektor Undana, Prof. Ir. Frans Umbu Datta, M.App, Sc, Ph.D. Dikatakannya, Undana hanya untuk scan saja, sedangkan soalnya dibuat dari pusat. (Apolonia Dhiu/Pos-Kupang.Com)

Kritik Sosial dalam Sastra: Suara yang Tetap 'Terpencil'

(Apresiasi atas Gagasan Bapak Yosni Herin)
Oleh Steph Tupeng Witin
Wartawan, sedang merampungkan buku kumpulan Cerpen 'Bukit yang Congkak'

"Kesaksian harus diberikanAgar kehidupan terus terjaga" (Rendra, "Potret Pembangunan dalam Puisi")PENULIS tertarik dengan tulisan Bapak Yosni Herin - salah satu dari sekian 'birokrat' selain Bapak Herman Musakabe yang terus menulis perihal sastra NTT yang masih 'terpencil' meski eksis, dari jagat sastra nasional (Pos Kupang, 5/1). Meski 'terpencil' para sastrawan muda yang lahir dari rahim NTT terus setia berkarya meski karya-karya itu hanya 'mampu' mengisi lembaran-lembaran media massa lokal dan majalah ilmiah kampus maupun buletin-buletin komunitas yang terbatas ruang pendistribusiannya.Perdebatan seputar predikat sebuah karya sastra, entah berlevel lokal atau nasional maupun kriteria yang menempatkan sebuah karya itu bermutu atau tidak menurut ukuran tertentu, mengungkapkan kegelisahan perihal eksistensi sebuah karya sastra. Di balik perdebatan itu yang biasanya 'dimenangkan' oleh 'golongan kuat' (sastrawan nasional), kita masih menemukan bahwa di antara deretan pegunungan, perbukitan bebatuan dan sedikit tanah di NTT ini, muncul karya-karya sastra yang terus diasah dan dikembangkan melalui ruang-ruang sastra yang bisa menampung. Perdebatan mesti dibaca dalam kerangka untuk semakin mengasah kemampuan berkarya sastra khususnya bagi para pelajar dan mahasiswa di 'nusa lontar' ini. Meski karya-karya sastra kita di NTT belum mampu menembus 'pasaran' sastra nasional, aktivitas sastra mesti terus digelorakan oleh siapa dan komunitas mana pun dan ombak bakat serta kemampuan harus terus digelombangkan agar ada kemampuan yang semakin terasah dan ada bakat yang menemukan ruang pengungkapannya. Meski sastra kita masih 'terpencil' nilai yang terkandung dalam setiap karya sastra mesti mendapatkan akses perhatian yang intens. Betapapun 'terpencil' sebuah karya sastra maupun tulisan yang terekam di halaman media lokal, ia menghadirkan beragam kandungan nilai yang mesti sedikitnya 'berpengaruh' dalam ranah kehidupan sosial politik kita. Setiap karya sastra betapa pun sederhana dan kecilnya mengandung kritik sosial sebagai bagian dari partisipasi sastrawan/penulis untuk membangun kehidupan bersama secara manusiawi. Tulisan ini berikhtiar menghadirkan nilai kritik sosial dalam karya sastra sebagai 'kado' bagi para birokrat dan politisi kita untuk mengabdi kepada kemanusiaan rakyat kecil yang 'berjasa' mengeksiskan mereka di 'kursi'. Kritik Sosial : Cermin Wajah KitaKritik sosial merupakan penilaian atau pengujian terhadap realitas masyarakat pada sebuah rentang waktu tertentu. Dalam ranah politik, kritik sosial sering dimaknai sebagai sebuah upaya mencari kelemahan-kelemahan lawan politik agar dijadikan senjata penjegal dalam kompetisi politik. Makna implisit inilah yang seringkali menjadi titik yang mengaburkan makna kritik sosial. Umumnya, kritik sosial mendambakan perubahan ke arah perbaikan. Kritik sosial berorientasi ke masa depan. Prediksi senantiasa mengandaikan pengetahuan dan kemampuan merangkai beragam relasi sosial menjadi kenyataan. Para sosiolog mendefinisikan masa depan sebagai sebuah kekenyataan (the future is real). Kenyataan itu tidak terkungkung dalam sekat masa lampau atau masa kini, tetapi menjangkau kemungkinan dan alternatif-alternatif agar dirangkai menjadi sebuah bangunan kenyataan masa depan yang dilandasi oleh pengalaman kemarin dan kenyataan hari ini. Kritik sosial diibaratkan sebagai sebuah cermin. Melalui medium cermin kritik sosial ini kita dapat melihat pantulan wajah kita yang sesungguhnya. Bila kita memandang cermin, kita cenderung melihat kejanggalan dan kekurangan yang terpantul. Maka kritik sosial pun kerap menghadirkan kelemahan dan kekurangan yang sebetulnya memiliki imperatif profetis yang mengingatkan, menyadarkan dan membangunkan kesadaran kita untuk selalu berbenah diri dan 'terjaga'. Di titik ini kita perlukan keterbukaan untuk menerima kritik sosial dengan dada yang lapang. Kritik sosial ibarat gumpalan tanah merah yang ditambalkan tukang periuk pada dinding kemanusiaan kita yang mudah retak karena rapuh. Para pengeritik sosial pun dituntut untuk menghadirkan kritik sosialnya secara obyektif, dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan data-data yang akurat dan benar dengan cara-cara penyampaian yang beretika. Dengan demikian kritik sosial dapat diterima dan memiliki pengaruh dalam mengubah pola perilaku yang menyimpang dari ethos dan moralitas. Sastra dan Kritik SosialPada tahun 1974, Rendra mengubah sebuah puisi berjudul Kesaksian yang dua bait terakhirnya saya kutip pada awal tulisan ini. Puisi ini merupakan kesaksiannya atas situasi sosial politik dalam masa Orde Baru. Saat itu republik ini tengah tenggelam-terhanyut dalam gemuruh badai pembangunan. Di tengah peradaban pembangunan, semua membisu. Atas nama pembangunan, jangan tanya siapa itu manusia, apa itu konsep masyarakat adil dan makmur - santapan pidato pejabat dan persoalan pemerataan pembangunan. Cukup tahu bahwa pertumbuhan ekonomi bangsa dalam keadaan stabil. Selama masa itu bahkan hingga saat ini, terdengar budaya kor anggota DPR/DPRD, perbedaan pendapat yang identik dengan pembangkangan dan karena itu mesti disingkirkan, para mahasiswa berteriak lantang tentang aparatur yang bersih dan berwibawa tetapi tetap saja ada penayangan koruptor, rakyat berteriak tentang keadilan di depan hukum tetapi pengadilan kita hanya sebuah komedi murahan yang mudah ditebak hasil akhirnya. Karya sastra yang mengangkat permasalahan sosial - politik merupakan bukti kebersatuan sastrawan/penulis dengan realitas. Sastrawan bersatu dengan kenyataan harian. Ia terlibat secara intens dalam pergulatan sosial-politik-kemanusiaan bangsa. Sastra menjadi medium untuk mengungkapkan ketajaman naluri dan kepekaan rasanya sebagai bentuk tanggapan atas realitas sosial-politik itu. Maka ketika kita membaca karya sastra, sesungguhnya kita sedang memandang kembali panorama realitas sosial-politik harian kita dengan lebih intens dalam 'wajahnya' yang 'baru'. Kita dengan lebih mendalam 'memandang' dan membaca realitas kemiskinan, keterbelakangan, rendahnya mutu pendidikan, penyalahgunaan kedudukan dan kuasa sebagainya.
'Realitas baru' ini pun menjadi syarat keprihatinan penulis/sastrawan sebagai makhluk sosial yang menghadirkan kritik sosial untuk menjadi titik perhatian dalam pengambilan kebijakan publik. Sastrawan/penulis 'menjeritkan' keluhan, tangisan dan teriakan nurani kaum kecil yang sering menjadi obyek obralan politisi selama berlangsungnya musim-musim kampanye. Menurut Sapardi Djoko Damono, karya sastra menghadirkan simpati sastrawan terhadap hidup kaum kecil. Kaum pinggir adalah lambang kepincangan sosial sekaligus ironi di tengah gemerlap hidup segelintir kaum berpunya dan berkuasa. Selain pengemis, potret kaum terpinggir mewajah dalam kehidupan tukang becak, pegawai rendahan yang digaji seadanya, perempuan kampung yang miskin, pelacur yang mengharapkan hidup dari kaum lelaki, guru kecil-terpencil yang tidak berkecukupan dan sebagainya. Tetapi justru orang-orang kecil inilah yang menampilkan kehendak yang kuat, harapan yang kokoh, teladan hidup mengagumkan dan kesabaran yang tinggi. Mochtar Lubis dalam cerpen Hidup Singkat si Comat yang Bahagia menampilkan Comat, pegawai rendahan pada sebuah instansi yang gajinya tidak cukup dan harus mengayuh becak di malam hari. Saat mengayuh becaknya, Comat terlempar dari becaknya tersambar mobil pejabat yan melaju dengan kecepatan yang tinggi. Comat akhirnya mati karena darah yang dibutuhkan untuk operasinya diberikan kepada seorang pembesar negara yang malam itu juga menjadi korban kecelakaan lalu lintas. Hidup pembesar negara lebih utama dari hidup Comat. Pramoedya Ananta Toer dalam novel Korupsi menghadirkan dilema klasik manusia: jujur atau korupsi? Pegawai yang jujur berarti membiarkan keluarga hidup sengsara. Lalu? Akhirnya ia memutuskan untuk mengambil langkah korupsi. Tekanan kebutuhan hidup keluarga akan uang akhirnya meruntuhkan moralitas keluarga. Rendra dalam sajak Bersatulah Pelacur-Pelacur Jakarta melukiskan ikhtiar para pelacur untuk menaikkan tarif dua kali lipat, membuat pemogokan dan berdemonstrasi hingga seluruh masyarakat setuju untuk memulihkan martabat mereka sebagai manusia buangan. Suara yang Tetap 'Terpencil'Pertanyaan yang relevan untuk direfleksikan adalah: seberapa jauh efektivitas pengaruh karya sastra bagi perubahan kehidupan? Banyak karya sastra yang mengritik ketimpangan pembangunan tetapi ketimpangan itu kian menjadi-jadi. Karya sastra banyak yang mengangkat tema korupsi dalam struktur birokrasi eksekutif-legislatif-yudikatif-kepolisian, tetapi semakin hari korupsi semakin gila di negeri ini. Jadi apa yang dapat ditarik perihal kritik sosial dalam karya sastra Indonesia? Sampai hari ini, kritik sosial dalam karya sastra Indonesia adalah sebuah suara yang tetap 'terpencil' di tengah jagat kehidupan bangsa. Dalam bahasa Sapardi Djoko Damono, kritik sosial dalam sastra Indonesia laksana lebah tanpa sengat. Kritik sosial dalam karya sastra Indonesia tidak mampu 'menyakiti', apalagi berdaya 'memaksa' manusia untuk mengubah pola perilaku dan pola hidup. Sastra hanya sampai pada tahap yang membuat orang merasa risih, geli atau jengkel. Kalaupun ada yang hendak menindasnya, orang dapat melakukan tanpa risiko apa pun. Meski demikian, sastrawan masa kini mesti terus berkarya dengan sungguh-sungguh memperhatikan persoalan kemasyarakatan. Ia dapat menjadi pengamat aktif yang menyaksikan, mencatat dan kemudian merefleksikan dan menuangkannya dalam bejana karya sastra entah berupa puisi, cerpen, novel maupun roman. Di sini sastrawan/penulis menjalin relasi dengan sejarah karena tema dan topik yang diangkat eksis dalam lintasan sejarah yang beruas waktu. Penyair/sastrawan menjadi pencatat sejarah. Kesungguhan dalam berkarya akan menghasilkan karya sastra yang bermutu dan bernilai bagi kehidupan. Perjalanan hidup dan karya sastrawan mesti berakhir pada titik penemuan nilai dan makna di tengah gebyar panorama yang sensasional. Hanya dengan jalan ini karya sastra tetap menunjukkan jati diri kehadirannya dan bisa menjadi medium untuk menakar sikap dan keterlibatan kita terhadap persoalan masyarakat. Kritik sosial dalam karya sastra, betapa pun kecil dan sederhana, biarpun hanya bisa memenuhi halaman media massa lokal dan buletin komunitas terbatas, pada titik tertentu dapat membantu pengambil kebijakan untuk melangkahkan 'kaki' kebijakannya politik-publiknya secara tepat dan melaksanakan pembangunan yang memenuhi rasa keadilan rakyat. Sastra berperan mendidik, terutama mengembangkan daya berpikir kritis dan mempertajam kepekaan perasaan manusia. Penulis hendak menutup tulisan ini dengan mengutip baik sajak sastrawan Rusia, Boris Pasternak berikut ini: Dan aku tegak berdiriDi sekitar hingar bingar kaum farisiHidup tak semudah menyeberangi air kali Sajak ini menggambarkan kebimbangan Hamlet sebagai kebimbangan Nabi Isa dalam menerima beban salib kematianNya yang tragis. Bait sajak ini mengingatkan kita: betapa kehidupan kita hari-hari ini maupun di waktu yang akan datang tidak akan pernah sepi dari warna kebisingan tuduh menuduh, saling mempersalahkan yang tumbuh bersamaan dengan keruwetan dan kemajemukan dimensi kehidupan. Kita harus menunjukkan simpati yang mendalam terhadap orang-orang yang mengalami semua ini. Kepercayaan kita sebagai manusia akan tetap diuji: apakah kita sanggup mempertahankan kemerdekaan jiwa meski dengan payung ketakutan agar kemudian dapat membantu sesama yang tengah dirundung keruwetan dan beban kehidupan yang berat ini? Bagaimana peran kemanusiaan penuh risiko ini dapat kita wujudkan di tengah bangsa yang kian tidak jelas ini? Sastra dan kesenian pada umumnya merupakan komponen peradaban manusia. Ia memiliki relevansi untuk bekerja sama dengan disiplin-disiplin kehidupan lain dalam membangun kultur bangsa yang berkualitas. Sastra berperan memelihara kelembutan hati, kepekaan perasaan, ketajaman intuisi, kedalaman jiwa, kearifan sikap sosial dan keluasan wawasan hidup. Bahkan sastra merupakan sebuah jalan memasuki dunia spiritual. Naguib Mahfouz, sastrawan peraih nobel 1998 asal Mesir menulis bahwa sastra selalu bekerja sama dengan agama dalam menyebarkan nilai-nilai luhur dan memperbaiki taraf kehidupan umat manusia. Bagi rekan-rekan sastrawan muda NTT, marilah terus berkarya dalam diam, sunyi. Karya-karya kita meski 'terpencil' dalam takaran sastra nasional, tetap memainkan peran kritik sosial dalam skala sederhana bagi siapa pun yang tersentuh nuraninya. Karya-karya kita bisa membantu membentuk opini, gagasan dan merangsang kemampuan berpikir orang lain. Teruslah berkarya dan biarkan sejarah sastra lokal NTT mencatat namamu! *

API Reinha Rosari Gelar Dies Natalis

KUPANG, PK -- Pada tanggal 15 Januari 2009 lalu, Aktivitas Pendalaman Iman (API) Reinha Rosari Mahasiswa Katolik Dioses Larantuka-Kupang genap berusia 29 tahun. Terkait dengan itu, Badan Pengurus API Reinha Rosari periode 2008/2009 menyelenggarakan Dies Natalis, bertempat di Aula Gereja St. Yoseph Naikoten Kupang, Sabtu (7/2/2009).Ketua API Reinha Rosari, Vinsensius Benidau, Minggu (1/2/2009), mengatakan, Dies Natalis semestinya dilaksanakan pada tanggal 15 Januari lalu, namun karena ada satu dan dua hal sehingga baru bisa dilaksanakan Februari."Kegiatan dimulai pukul 08.00 Wita, diawali dengan panel diskusi dengan tema, API Reinha Rosari Hari Kemarin, Hari Ini dan Besok, dalam Konteks Penemuan Jati Diri," kata Benidau. Pembicaranya adalah Petrus Langoday (Koordinator API Reinha Rosari), Dr. Chris Boro Tokan, S. H, M.H dan Drs. Wem Kabosu.Benidau mengatakan, Dies Natalis merupakan momentum bagi anggota, pengurus dan alumni untuk merefleksi kiprah perjalanan API Reinha Rosari selama ini dan menyusun langkah ke depan agar API Reinha Rosari tetap eksis."Ada satu persoalan yang perlu dibicarakan serius antaranggota, pengurus dan alumni yaitu mengenai sekretariat. Pembangunan sekretariat selama ini hanya tinggal rencana. Jadi, diharapkan pada dies natalis kali ini ada komitmen yang kuat untuk membangun sekretariat. Usia 29 tahun bukan merupakan waktu yang singkat. Ibarat seorang anak manusia, sudah dewasa sehingga perlu ada rumah sendiri. Demikian juga API Reinha, perlu ada sekretariat. Kami yakin, alumni yang tersebar di seluruh wilayah NTT dengan beragam latar belakang pekerjaan, berpikir tentang hal ini," katanya sembari menambahkan bahwa saat ini pengurus mengontrak rumah warga di Jalan Thamrin untuk dijadikan sekretariat. Masa kontrak selama setahun.API Reinha Rosari didirikan Petrus Langoday, Chris Boro Tokan, Gabriel Tobi Sona, Yuliana Lamuri, Lorensius Lusi Making (alm) dan Yohana Riberu, menindaklanjuti ide yang dicetuskan Bung Kanis (alm). API Reinha Rosari merupakan wadah pembinaan dan pengabdian dengan semangat Kristianitas, Fraternitas dan Intelektualitas. Ada pun misinya adalah kerasulan kaum awam. (aca)

Nyanyian Nelayan Lembata

TENTANG Lembata, kita tidak selalu mendengar nyanyian merdu mendayu seperti kisah para nelayan Lamalera menangkap ikan paus. Hari-hari belakangan ini kita justru semakin kerap mendengar nyanyian pilu, getir dan menyesakkan dada. Lembata memikul banyak perkara yang perlu dituntaskan segera.Bantuan yang tidak membantu. Kira-kira begitulah judul lagu terbaru dari Lembata. Lagu yang dinyanyikan para nelayan miskin. Seperti diberitakan Pos Kupang Kamis lalu, sebagian dari 25 unit kapal fiberglass bantuan Dinas Sosial (Dinsos) Propinsi NTT kepada nelayan miskin di Lewoleba, Kecamatan Nubatukan dan Ile Ape rusak parah. Bantuan yang diberikan pada bulan September 2008 tersebut tidak membantu para nelayan. Ketua kelompok nelayan Bajak Laut, Salimar Sunthe dan Ketua Kelompok Generasi Muda, Yoseph Laba Koban menjelaskan, mesin kapal buatan Cina tidak bagus kualitasnya. Mesin rusak hanya tiga sampai empat bulan setelah para nelayan menggunakan kapal itu untuk mencari ikan. Selain itu, bodi kapal sangat tipis sehingga mudah pecah bila dihantam gelombang besar atau berbenturan dengan batu karang.Spirit yang terkandung dalam setiap bentuk bantuan dari pemerintah adalah membantu masyarakat mengatasi masalah hidup yang mereka hadapi. Demikian pula kiranya dengan bantuan 25 unit kapal fiberglass dari Dinas Sosial Propinsi NTT. Sarana itu dimaksudkan untuk mendukung aktivitas nelayan Lembata memperoleh penghasilan yang lebih baik. Kapal ikan bermesin dari bahan fiberglass tentu lebih bagus mobilitas dan kemampuannya ketimbang perahu tradisional. Namun, dengan kualitas yang buruk, bantuan tersebut tidak banyak manfaat bagi nelayan. Bantuan yang tidak membantu apa-apa. Dalam situasi seperti itu kiranya bisa dimengerti bila masyarakat menilai pemerintah tidak ikhlas membantu mereka keluar dari masalah hidup.Kita mengharapkan instansi berwenang segera menelusuri persoalan ini guna mengetahui duduk perkaranya dengan jelas dan obyektif. Di mana letak benang kusutnya hingga mutu kapal yang nilai per unit puluhan juta rupiah tersebut jauh dari harapan? Kalau ada indikasi penyelewengan, maka hukum mesti ditegakkan agar kasus serupa tidak terulang.Kasus seperti ini bukan yang pertama. Sudah berulang kali terjadi di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Masyarakat penerima bantuan pemerintah merasa kecewa karena bantuan tidak sesuai harapan mereka. Yang lazim terjadi adalah bantuan pasca bencana. Bencana selalu menghadirkan uluran tangan dari berbagai pihak. Mereka menyumbang dengan ikhlas hati. Sesuai tanggung jawabnya, pemerintah mengelola bantuan tersebut dengan mengacu pada mekanisme, prosedur serta ketentuan yang berlaku. Untuk pembangunan sarana fisik, misalnya, dimungkinkan penunjukan langsung atau lewat tender. Pembanguan sarana fisik itu dikerjakan oleh kontraktor yang ditunjuk atau memenangkan tender. Begitulah mekanisme yang berlaku dan tidak asing bagi masyarakat. Selalu menjadi soal pada sisi pengawasan. Pemerintah lemah dalam hal ini. Demikian pula dengan lembaga legislatif. Tangan mereka seolah tak berdaya, tak sanggup menjangkau sesuatu yang seharusnya menjadi kewewenangan mereka untuk mengatakan ya atau tidak. Maka hasilnya mudah ditebak. Pembangunan sarana atau prasarana asal jadi. Kualitas buruk, tidak sebanding dengan nilai uang yang dipakai untuk membangun sarana atau prasarana tersebut.Kita tidak akan bosan untuk mengatakan bahwa pembangunan memerlukan perencanaan dan pengawasan yang baik. Juga komitmen serta tindakan konkret untuk menegakkan ketentuan yang berlaku. * (Pos-Kupang.Com)

Mantan Ketua PWI Luncurkan "Wartawan? Hehehe..."

JAKARTA, RABU - Mantan Ketua PWI Pusat, H. Sofyan Lubis meluncurkan sebuah buku berjudul "Wartawan? Hehehe..", Rabu (4/2), di Jakarta Media Centre. Judul buku yang menggunakan "hehehe", sengaja dikemas ringan untuk menceritakan kisah yang sempat dialaminya saat menjadi wartawan. Cerita sejak masa Bung Karno sampai SBY pun dituangkannya dalam buku tersebut."Dalam buku ini saya menceritakan tentang kisah-kisah lucu yang dialami wartawan dan sempat saya alami," kata mantan Pemred Pos Kota ini, dalam sambutannya.Salah satu kisah yang diutarakan Sofyan, bagaimana ihwal munculnya istilah wartawan "bodrex". Ternyata, kisah Sofyan, cerita itu berawal dari guyonan para wartawan yang sering berkumpul di PN Jakarta Pusat, Jalan Gadjah Mada."Nah di seberang PN itu ada Hotel Paripurna. Ternyata, para wartawan "bodrex" kalau kumpul di depan hotel itu. Melihat mereka bergerak, serombongan kayak pasukan. Akhirnya dinamakan "pasukan bodrex", karena iklan Bodrex (obat sakit kepala) sedang terkenal di tahun 1984," papar Sofyan.Dalam buku tersebut, Sofyan menceritakan kisah lainnya, di antaranya gerak wartawan sejak masa Bung Karno sampai SBY. "Tapi hanya masa Megawati yang tidak ada ceritanya," kata dia.Kritikan disampaikan wartawati senior yang saat ini menjabat Ketua Lembaga Sensor Film, Titi Said. Ia melihat, buku yang dikemas sangat santai ini menarik untuk dibaca. Namun, kekurangan terdapat pada pemilihan foto yang menurutnya kurang berkualitas."Buku ini dikemas dengan gaya santai yang diseriuskan, atau gaya serius yang disantaikan. Tapi sayang, kualitas fotonya kurang," kata Titi.Sementara itu, pakar komunikasi politik Effendi Ghazali mengatakan, penulis terlalu enteng menggambarkan bagaimana wartawan menerima uang. "Bisa jadi kontraproduktif, karena uang itu dipandang sebagai suatu hal yang harus dirayakan bersama," ujar Effendi. (Inggried Dwi Wedhaswary/kompas.com)