Rabu, 04 Februari 2009

Dalam Dua Dunia, Tetapi Tidak Memiliki



Oleh Silvinus Lado Ruron


Dua dunia. Dunia Flores dan dunia Australia, tepatnya dunia Larantuka dan Melbourne. Beralih dari satu dunia ke dunia lain sungguh gampang-gampang susah.
Melbourne sungguh indah. Satu atau dua tahun lalu ia digelar sebagai 'The most liveable city in the world'. Orang menikmati indahnya kota ini pada malam hari dengan keluar makan di restoran. Setelah berada beberapa minggu di Melbourne, saya diajak teman untuk makan di restoran. Sewaktu diajak, bukan main senangnya saya. Saya ditraktir teman.
Banyak jenis restoran etnis di kota metropolitan ini. Kami pergi ke sebuah restoran Vietnam. Makanan Vietnam sungguh lezat dan itu pertama kali saya mencicipinya. Di akhir makan malam, kami diberi nota bon. Setelah melihat jumlah uang yang harus dibayar, teman saya berkata, 'Let's split the bill' (Mari kita bagi bon). Saya terkejut. "Oh, bayar masing-masing," saya bergumam dalam hati. Sejak itu, saya belajar bahwa diajak keluar tidak berarti ditraktir - bayar sendiri-sendiri.
Selain aneka makanan etnis, penduduk Melbourne pun diperkenalkan dengan cukup banyak bahasa asing. Pemerintah, baik pada tingkat Federal maupun pada tingkat Negara Bagian, mewajibkan sekolah-sekolah untuk mengajarkan sekurang-kurangnya satu bahasa asing. Bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa asing yang diajarkan di sekolah-sekolah.
Banyaknya jenis makanan dan aneka bahasa merupakan dua indikator kemajemukan masyarakat Melbourne.

Mengabdi di Negeri Kanguru
Sekolah tempat kerja dan pengabdian saya. Setelah menyelesaikan pendidikan, saya menjadi staf pengajar tetap Bahasa Indonesia di sekolah 'Catholic Ladies' College', setingkat SMU di Indonesia. Sudah enam tahun lamanya saya mengabdi di sekolah ini.
Mengajar, baik di tempat ini maupun di tempat lain mana pun, punya kesusahan dan kesenangan tersendiri. Enak kalau berhadapan dengan anak-anak yang pandai dan ingin belajar. Sekali dijelaskan mereka mengerti. Tetapi sering kali kesabaran saya diuji sewaktu berhadapan dengan anak-anak yang membutuhkan lebih banyak waktu untuk mengerti satu aspek bahasa yang dipaparkan. Kadang-kadang mereka frustrasi, demikian juga saya. Meskipun demikian, saya berusaha untuk tidak menunjukkan kefrustrasian itu. Sabar, memuji dan memacu semangat itulah yang dinyatakan. Hasil dapat diperoleh melalui pendekatan demikian.
Pada suatu hari, seorang siswi bertanya, "Pak Sil, tolong ceritakan sedikit tentang Flores." Ada beberapa hal yang saya ceritakan. Tetapi yang satu ini, sebelum menceritakannya, saya mengawasi mereka. "Jangan ceritakan ini kepada orangtua kamu. Kamu harus berjanji untuk tidak menceritakannya." Mereka menjawab, "Ya". Sekali lagi saya bertanya, "Kamu berjanji?" Saya memandang semua mereka. Setelah berdiam beberapa detik mereka menjawab, "Ya, Pak Sil." "Begini..." Saya berhenti. Suasana mulai menegang. Beberapa di antara mereka berteriak, "Ceritakan saja, Pak Sil... "Baiklah. Di Flores, kami.... "Kamu apa, kamu apa, Pak Sil?" "Di Flores, kami makan daging anjing." Mendegar itu, ruang kelas serentak dipenuhi dengan suara-suara tidak setuju. Ada di antara mereka berkata, "Jangan pernah mendekati anjing saya, Pak Sil!" Ada yang bertanya, "Rasanya seperti apa, Pak Sil?"
Di kelas, ketika siswi-siswi menciptakan album keluarga sebagai tugas Bahasa Indonesia mereka, beberapa di antara mereka bertanya, "Boleh saya masukkan anjing-anjing saya sebagai bagian dari anggota keluarga?" Saya biasanya bertanya balik, "Menurut kamu, bagaimana?" Mereka menjawab, "Ya." "Baiklah", saya mengakhiri pembicaraan kami.
Tiap semester ada wawancara dengan orangtua/wali murid. Wawancara biasanya terjadi pada akhir triwulan pertama dan ketiga. Orangtua/wali murid harus membuat janji dengan pengajar. Banyak yang datang. Sewaktu mereka menghadiri wawancara, mereka datang dengan senyum dan pujian dan/atau dengan keluhan dan ketidakpuasan mereka.
Berikut ini beberapa ungkapan orangtua/wali murid dalam wawancara kami. "Chloe senang sekali di kelas Bapak. Tetapi dia masih bingung dengan penggunaan "Adalah" dan "Ada." "
"Stephanie bersemangat berada di kelas Bapak. Dia selalu cerita tentang apa yang dia pelajari. Stephanie suka permainan-permainan yang diadakan di kelas. Tetapi penggunaan "Tidak" dan "Bukan" cukup membingungkannya." "Nicole mengalami kesulitan dalam menghafal kosa kata baru. Apakah Bapak mempunyai saran atau strategi untuk ini? Apakah nanti ada perjalanan ke Indonesia?"
"Bagaimana Cassidy di kelas semester ini? Dia tidak nakal, 'kan?" Demikian beberapa kutipan dari wawancara.
Pada pertengahan bulan September tahun ini, sesudah wawancara dengan orangtua/ wali murid ada rekoleksi untuk staf. Salah satu bagian dalam rekoleksi itu adalah "Benda Penting" dalam hidup. Setiap pengajar membawa "Benda Penting" ke rekoleksi. Saya membawa passpor saya.
Passpor adalah salah satu bentuk indentitas tertulis saya. Dalam passport ada visa yang menyatakan "Tinggal di Australia tanpa batas waktu."
Saya orang Flores tinggal di Australia. Kefloresan saya jelas. Tampang saya, logat saya dan kebudayaan saya sungguh Flores. Akan tetapi rajutan benang kefloresan yang ada dalam diri saya sudah diwarnai dengan benang-benang Australia. Benang-benang Australia perlahan-lahan turut menenun keberadaan saya sejak Januari 1995.
Saya berada dalam dua dunia, Australia dan Flores baik secara kultur, mental maupun psikologis. Dua dunia ini pun berada dalam saya. Tetapi kadang-kadang saya merasa tidak memiliki keduanya.
Ketika saya pulang berlibur, terkadang saya merasa asing di tengah keluarga dan sahabat kenalan. Ada keponakan baru atau anak-anak dari keponakan yang tidak mengenal siapa saya. Saya merasa sedikit kaku berbahasa "Nagi" dan "Lamaholot" pada saat-saat awal. Sayang bahwa ini harus terjadi. Saya tidak bermaksud menyakiti hati keluarga atau komunitas asal saya. Tetapi inilah yang saya alami. Sementara itu selagi di Melbourne, saya membawa kefloresan saya. Tiga belas tahun lebih saya berada di sini. Tiga belas tahun lebih berada dalam peralihan, pergi dan pulang antara Melbourne dan Flores dalam arti fisik, kultur, mental dan psikologis.
Di sekolah, rekan-rekan kerja sering berkata, "Sil, kamu beradaptasi baik sekali dengan kebudayaan dan kebiasaan Australia." Mereka menerima saya sebagai bagian dari komunitas. Tetapi saya kadang cenderung melihat diri sebagai seorang pendatang. Ketika seorang pendatang diterima sebagai anggota komunitas, mungkin itu suatu tanda baik. Suatu keberhasilan dalam beradaptasi, berdialog dan berinkulturasi. Mungkin.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar