TENTANG Lembata, kita tidak selalu mendengar nyanyian merdu mendayu seperti kisah para nelayan Lamalera menangkap ikan paus. Hari-hari belakangan ini kita justru semakin kerap mendengar nyanyian pilu, getir dan menyesakkan dada. Lembata memikul banyak perkara yang perlu dituntaskan segera.Bantuan yang tidak membantu. Kira-kira begitulah judul lagu terbaru dari Lembata. Lagu yang dinyanyikan para nelayan miskin. Seperti diberitakan Pos Kupang Kamis lalu, sebagian dari 25 unit kapal fiberglass bantuan Dinas Sosial (Dinsos) Propinsi NTT kepada nelayan miskin di Lewoleba, Kecamatan Nubatukan dan Ile Ape rusak parah. Bantuan yang diberikan pada bulan September 2008 tersebut tidak membantu para nelayan. Ketua kelompok nelayan Bajak Laut, Salimar Sunthe dan Ketua Kelompok Generasi Muda, Yoseph Laba Koban menjelaskan, mesin kapal buatan Cina tidak bagus kualitasnya. Mesin rusak hanya tiga sampai empat bulan setelah para nelayan menggunakan kapal itu untuk mencari ikan. Selain itu, bodi kapal sangat tipis sehingga mudah pecah bila dihantam gelombang besar atau berbenturan dengan batu karang.Spirit yang terkandung dalam setiap bentuk bantuan dari pemerintah adalah membantu masyarakat mengatasi masalah hidup yang mereka hadapi. Demikian pula kiranya dengan bantuan 25 unit kapal fiberglass dari Dinas Sosial Propinsi NTT. Sarana itu dimaksudkan untuk mendukung aktivitas nelayan Lembata memperoleh penghasilan yang lebih baik. Kapal ikan bermesin dari bahan fiberglass tentu lebih bagus mobilitas dan kemampuannya ketimbang perahu tradisional. Namun, dengan kualitas yang buruk, bantuan tersebut tidak banyak manfaat bagi nelayan. Bantuan yang tidak membantu apa-apa. Dalam situasi seperti itu kiranya bisa dimengerti bila masyarakat menilai pemerintah tidak ikhlas membantu mereka keluar dari masalah hidup.Kita mengharapkan instansi berwenang segera menelusuri persoalan ini guna mengetahui duduk perkaranya dengan jelas dan obyektif. Di mana letak benang kusutnya hingga mutu kapal yang nilai per unit puluhan juta rupiah tersebut jauh dari harapan? Kalau ada indikasi penyelewengan, maka hukum mesti ditegakkan agar kasus serupa tidak terulang.Kasus seperti ini bukan yang pertama. Sudah berulang kali terjadi di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Masyarakat penerima bantuan pemerintah merasa kecewa karena bantuan tidak sesuai harapan mereka. Yang lazim terjadi adalah bantuan pasca bencana. Bencana selalu menghadirkan uluran tangan dari berbagai pihak. Mereka menyumbang dengan ikhlas hati. Sesuai tanggung jawabnya, pemerintah mengelola bantuan tersebut dengan mengacu pada mekanisme, prosedur serta ketentuan yang berlaku. Untuk pembangunan sarana fisik, misalnya, dimungkinkan penunjukan langsung atau lewat tender. Pembanguan sarana fisik itu dikerjakan oleh kontraktor yang ditunjuk atau memenangkan tender. Begitulah mekanisme yang berlaku dan tidak asing bagi masyarakat. Selalu menjadi soal pada sisi pengawasan. Pemerintah lemah dalam hal ini. Demikian pula dengan lembaga legislatif. Tangan mereka seolah tak berdaya, tak sanggup menjangkau sesuatu yang seharusnya menjadi kewewenangan mereka untuk mengatakan ya atau tidak. Maka hasilnya mudah ditebak. Pembangunan sarana atau prasarana asal jadi. Kualitas buruk, tidak sebanding dengan nilai uang yang dipakai untuk membangun sarana atau prasarana tersebut.Kita tidak akan bosan untuk mengatakan bahwa pembangunan memerlukan perencanaan dan pengawasan yang baik. Juga komitmen serta tindakan konkret untuk menegakkan ketentuan yang berlaku. * (Pos-Kupang.Com)
Rabu, 04 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar